Hak Asasi Manusia
Agus Gunawan/10208061
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. HAM Berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Contoh hak asasi manusia (HAM):
• Hak untuk hidup.
• Hak untuk memperoleh pendidikan.
• Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
• Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
• Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Kekuatan negara dengan berbagai kebijakan dan institusi reformis ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan hak asasi warga negara secara layak. Publik bahkan tergiring dalam pandangan pragmatis terkait dengan hak asasi manusia.
Sejak negeri ini dibentuk pengakuan hak asasi manusia, hak hidup merdeka, dan hak sederajat merupakan tulang punggung bersatunya berbagai etnis dan kelompok. Pandangan antidiskriminasi dan hormat kepada hidup manusia menjadikan Indonesia salah satu negara yang paling awal mengakui hak asasi manusia, bahkan lebih awal daripada Deklarasi HAM PBB, 10 Desember 1948.
Perjalanan sejarah bangsa ini kemudian memberi bukti, pemaknaan ”hak asasi” di negeri ini bisa ”maju-mundur” sesuai dengan konsep rezim yang berkuasa di pemerintahan. Pada masa pemerintahan Soeharto hak asasi diberi makna sebagai hak hidup dari Tuhan Yang Maha Esa, sejauh serasi dan tidak menjadi penghalang bagi laju pembangunan nasional.
Era reformasi, yang sebagian energinya menyembur dari kawah tekanan represi politik atas nama stabilitas, memberikan warna lain pemaknaan hak asasi. Salah satu yang kentara adalah formalisasi simbol hak asasi dalam bentuk perundang-undangan terkait HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999), kebijakan birokrasi yang pro-hak asasi dan pembentukan institusi nasional, seperti Dephuk dan HAM serta Komnas HAM.
Jika dihitung-hitung, bisa dibilang saat ini mungkin tinggal soal niat saja yang tidak ”diinstitusikan” untuk menjamin terselenggaranya pemenuhan hak asasi di negeri ini. Namun, dengan segenap kekuatan negara seperti itu, apakah persoalan pelanggaran HAM di negeri ini bisa segera diselesaikan?
Sebatas kebebasan
Dibandingkan era Orde Baru, reformasi yang digembar-gemborkan sejauh ini ditengarai masih sebatas memberikan jaminan kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, dan unjuk rasa. Rangkaian jajak pendapat Litbang Kompas mendapati, bagian terbesar responden senantiasa menilai positif berbagai perubahan yang terjadi dalam batas-batas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Lebih dari itu, kondisi tampak masih tertatih-tatih. Pemenuhan aspek pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal yang layak masih menyisakan ”lubang” besar. Ambil contoh soal tempat tinggal. Becermin dari suara responden, mayoritas responden (61,3 persen responden) menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah. Demikian juga terhadap hak masyarakat atas pendidikan yang layak, dinilai lebih separuh responden (56,4 persen) belum berjalan memuaskan.
Jika menengok lebih jauh, persoalan HAM yang lebih mengusik publik adalah penanganan terhadap pelaku dan korban kasus lumpur Lapindo. Eksekusi hukum yang tak kunjung selesai, baik terhadap PT Lapindo Brantas maupun ganti rugi terhadap korban, menjadikan kasus itu dinilai publik sebagai salah satu persoalan HAM yang paling belum terselesaikan.
Memang, jika dilihat secara keseluruhan, persoalan pelanggaran HAM paling menonjol adalah dampak dari kasus-kasus pertentangan elite politik ketimbang sengketa horizontal antarwarga. Seperti hasil jajak pendapat sebelumnya, kasus-kasus yang paling menonjol diingat publik ialah kasus terbunuhnya aktivis HAM, Munir, dan aktivis buruh, Marsinah, serta tragedi Trisakti 1998. (lihat tabel)
Sikap tak abai oleh negara seharusnya juga tak hanya ditujukan terhadap pelanggaran HAM skala besar. Pada kenyataannya, pelanggaran hak asasi dalam konteks keluarga (KDRT), ketenagakerjaan (TKI, tenaga kerja anak), ataupun yang berbasis primordial (etnis dan agama) masih terjadi secara sporadis hingga saat ini.
Cerminan sikap publik atas kondisi tersebut adalah ketidakpuasan bagian terbesar responden (71,4 persen) atas upaya pemerintah menangani berbagai kasus pelanggaran HAM. Meski demikian, ketidakpuasan ini juga bersifat relatif. Meski penegakan HAM dinilai belum memuaskan, dibandingkan masa Orde Baru, kal ini lebih diapresiasi dan dinilai lebih baik oleh mayoritas responden.
Pragmatisme pandangan
Dari perjalanan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tampak betapa sulitnya komponen bangsa ini menemukan benang merah penegakan hak asasi atas nama kebenaran substantif. Sebagaimana terjadi dalam penyelesaian kasus Munir, berubah-ubahnya nuansa keputusan hakim terhadap terdakwa menyebabkan sebagian publik hilang kepercayaan kepada institusi hukum negara.
Jika merunut ke penyelesaian kasus Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998, lebih sulit lagi bagi publik menerima fakta bahwa peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat. Ironisnya, negara yang diwakili oleh Panitia Khusus DPR ketika itu justru berperan mementahkan penyidikan khusus dengan menyatakan peristiwa itu sebagai pelanggaran HAM biasa.
Risiko yang muncul dari hilangnya kepastian dalam penyelesaian sebuah kasus pelanggaran HAM berat ialah munculnya sebuah pandangan pragmatis sebagai buah dari sikap apatis. Aspek mendasar dari hak asasi tidak lagi terfokus pada persoalan idealisme kebebasan, kemerdekaan dan hak hidup, tetapi bergeser pada sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Dalam hal ini, perspektif hak asasi warga negara sebagai pihak yang ”dijamin” hidupnya oleh negara menjadi lebih mengemuka.
Sebagian besar responden saat ini memandang pelaksanaan pemenuhan HAM sangat terkait dengan aspek ekonomi, suatu hal yang mungkin tidak muncul pada masa Soeharto. Bagian terbesar responden (73,9 persen) bahkan, jika harus memilih, menyatakan lebih mendahulukan pemenuhan ekonomi ketimbang pemenuhan hak asasi.
Parahnya, hiruk-pikuk aktor politik menjelang pemilihan umum tak satu pun yang berani menyentuh isu pelanggaran HAM berat masa lalu. Nyaris semua elite dan parpol berlindung di balik tema-tema ”populis” seperti perekonomian. Di sisi lain, publik tampaknya juga makin pesimistis ada elite politik atau parpol yang bisa menyelesaikan pelanggaran HAM.
Sulit dimungkiri arus utama isu di dalam masyarakat senantiasa didominasi oleh aspek terpenuhinya kebutuhan mendasar. Namun, hilangnya militansi kepada kebenaran merupakan kondisi yang bisa menjerumuskan bangsa dalam ilusi materialisme. (Litbang Kompas)
Setiap orang memiliki hak untuk hidup, apakah termasuk orang gila? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap orang gila yang banyak berkeliaran di jalanan?
Jawab
Setiap manusia memiliki hak sejak ia dilahirkan. Termasuk orang yang mengidap penyakit kejiwaan sekalipun. Tidak pernah ada satu manusiapun yang dilahirkan tersebut berharap kelak ia akan menderita gangguan jiwa. Namun, karena alasan kesehatan negara berhak membatasi hak mereka. Misalnya mereka tidak bisa mendapatkan hak dalam bidang politik. Selebihnya, mereka tetap bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka. Hak untuk mendapat kehidupan yang layak, jaminan keamanan, bebas dari tindak kekerasan serta jaminan kesehatan yang kesemua itu wajib dipenuhi oleh negara.
Secara eksplisit, negara tidak ada memuat secara khusus jaminan terhadap orang-orang yang memiliki penyakit jiwa dalam sebuah konstitusi. Hanya didalam pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi "Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara" bisa menjadi landasan hukum yang menjamin hak-hak mereka. Berdasarkan ketentuan pasal ini sudah jelas bahwa pemerintah wajib memperhatikan orang-orang yang berkebutuhan khusus ini, dalam artian pemerintah tidak boleh lepas tangan terhadap permasalahan ini. Selain itu Undang-undang HAM No.39 Tahun 1999 bisa dijadikan jaminan hukum bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa ada diskriminasi.
Di dalam pasal 22 Deklarasi Hak Asasi Manusia yang berbunyi " Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan social dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosila dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap Negara. Dan didalam pasal 6 ayat 1 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga diatur tentang " Setiap manusia berhak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang". Kami menilai, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi hak hidup tersebut.
Pemerintah seharusnya menempatkan mereka di panti sosial atau memasukkan mereka ke rumah sakit khusus yang menangani penyakit kejiwaan (Rumah Sakit Jiwa) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara khusus. Termasuk jaminan kehidupan yang layak dan perlindungan keamanan. Karena terkendala biaya yang terbatas dan hal teknis lainnya, penanganan untuk pemenuhan hak kelompok masyarakat yang memiliki gangguan jiwa menjadi terhambat. Sementara masyarakat kelas bawah yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa sangat sulit mengakses kesehatan di RSJ karena membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga sulit untuk dijangkau dengan kondisi perekonomian mereka. Untuk itu pemerintah harus segera mencari solusi terbaik secepatnya. Salah satu caranya dengan menggandeng pihak swasta untuk membuka tempat-tempat pengobatan khusus bagi penderita gangguan jiwa. Pemerintah bisa berperan dalam hal kemudahan pengurusan administrasi izin usaha dan penerapan biaya pengobatan. Cara-cara ini dinilai efektif untuk menstimulus peran swasta namun dengan tetap melakukan pengontrolan. Ini saja jawaban yang bisa kami berikan. Terima kasih.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00241551/hak.asasi.manusia.dalam.bay... id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia www.harian-global.com/index.php?...26282%3Ahak-untuk-hidup... -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar