Senin, 09 November 2009

KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA EKONOMI RAKYAT

Koperasi sebagai sebuah lembaga ekonomi rakyat yang telah lama dikenal di Indonesia.

Koperasi adalah Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.

Koperasi memiliki dua tingkatan yaitu koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan perorangan, dan Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.

Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah memajukan

kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut

membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang

maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha ekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan persoalan social-ekonomi masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju demokrasi ekonomi secara kontitusional tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun dalam perjalanannya, pengembangan koperasi dengan berbagai kebijakan yang telah

dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, keberadaannya masih belum memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat.

Secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak, berdasarkan data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para

anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.

Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha

kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar:[3]

1. Tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat;

2. Berfungsinya aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi

yang effektif.

Namun dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi

debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada

pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung

mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk

mencapai hasil akhir tersebut.

Di samping lembaga Koperasi yang telah dikenal, saat ini juga berkembang

lembaga Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan

ekonomi masyarakat kecil bawah (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan

sistem ekonomi Syariah Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi untuk

BMT yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara

administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan

koperasi dan baik (“thayyiban”) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan

para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan

hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)

yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.

Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi

kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi BMT berada pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan

ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah

seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang

menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam

lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga

pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga

Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah

bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan

perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan .

Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka diharapkan dapat

mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang

akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi

lain kemitraan ini juga akan meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai

lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi Kerakyatan yang

didengung-dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan

lahir dan bathin, insya Allah akan dapat terwujud. Namun sebelum mewujudkan

visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari bahwa makna

kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi

lebih dari itu yakni mempunyai ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga

mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan social ekonomi,

kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan

kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat,

sehingga mendiskusikan konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada

variable-variabel ekonomi semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama,

psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah














Koperasi – SHU (Sisa Hasil Usaha)

Sisa Hasil Usaha ( SHU ) Koperasi seringkali diartikan keliru oleh pengelola koperasi. SHU Koperasi dianggap sama saja dengan deviden sebuah PT, padahal terminology SHU jelas, bahwa SHU adalah “Sisa” dari Usaha koperasi yang diperoleh setelah kebutuhan anggota terpenuhi
Dalam Sisa hasil usaha (SHU) memang diartikan sebagai selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue [TR]) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost[TC]) dalam satu tahun buku. Bahkan dalam jika ditinjau pengertian SHU dari aspek legalistik, menurut UU No.25/1992, tentang perkoperasian, Bab IX, pasal 45 adalah sebagai berikut:

1. SHU koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
2. SHU setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
3. besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Pengertian diatas harus dipahami bahwa SHU bukan deviden seperti PT tetapi keuntungan usaha yang dibagi sesuai dengan aktifitas ekonomi angoota koperasi, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap anggota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Artinya, semakin besar transaksi(usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana dividen yang diperoleh pemilik saham adalah proporsional, sesuai besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan badan usaha lainnya.
Penghitungan SHU bagian anggota dapat dilakukan apabila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut:
1. SHU total kopersi pada satu tahun buku
2. bagian (persentase) SHU anggota
3. total simpanan seluruh anggota
4. total seluruh transaksi usaha ( volume usaha atau omzet) yang bersumber dari anggota
5. jumlah simpanan per anggota
6. omzet atau volume usaha per anggota
7. bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
8. bagian (persentase) SHU untuk transaksi usaha anggota.